Dzulhijjah, Bulan Mulia Penuh Ibadah

 PENJELASAN RINGKAS TENTANG 10 HARI PERTAMA DZULHIJJAH, QURBAN, DAN HARI RAYA ‘IDUL ‘ADH-HA
Penulis : Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين .. وبعد
Sesungguhnya di antara keutamaan dan karunia yang Allah berikan
kepada makhluk-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi
hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya.
Di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah.

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

1.       Allah Ta’ala berfirman:

وَالفَجرِ وَلَيَالٍ عَشرٍ.


“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan malam
yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan yang lainnya.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.”

2.       Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا:
ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجلٌ خرج
بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء.
“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di
dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para
shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda:
Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar
dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.”
(HR.
Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi. Lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud)

3.       Allah ta’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ.

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)
Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir).

4.       Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام أعظم عند الله سبحانه ولا أحب إليه العمل فيهن من هذه الأيام العشر؛ فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.
“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah
subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada
sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada
hari-hari tersebut.”
(HR. Ahmad)

5.       Sa’id bin Jubair rahimahullah -dan beliau yang meriwayatkan
hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk
beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya.
(HR. Ad-Darimi)

6.       Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang tampak dari
sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah
karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya)
induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan
haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”

AMALAN YANG DISUNNAHKAN
Untuk Dikerjakan Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah

1. Shalat

Disunnahkan untuk bersegera menunaikan (shalat) fardhu dan
memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling
afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shahabat
Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحطَّ عنك بها خطيئة.
“Wajib atas kamu untuk memperbanyak sujud kepada Allah, karena
seseunnguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan
Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu
kesalahan darimu.”
(HR. Muslim).

Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu, kapan pun dilaksanakan.

2. Puasa

Karena puasa termasuk dalam keumuman amal shalih (yang disunnahkan
untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari
istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia
berkata:
كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر.
“Dahulu Rasulullah berpuasa pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah,
dan hari ‘asyura’ (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap
bulannya.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i).
Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang puasa pada sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi
(disunnahkan).

3. Takbir, Tahlil, Tahmid
Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Ðahulu Ibnu ‘Umar dan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga
ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya.”
Beliau (Al-Imam Al-Bukhari) juga berkata: “Dan ‘Umar dahulu bertakbir
di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam
masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang
berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar
disebabkan suara takbir mereka.”
Dan Ibnu ‘Umar dahulu bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, dan
juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika
berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di
setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.
Dan disenangi (disunnahkan) untuk mengeraskan bacaan takbir
sebagaimana yang dilakukan Umar, anaknya (yakni Ibnu ‘Umar), dan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
Sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali
sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan
bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki
kebaikan dan keutamaan) sekalipun. Dan yang memprihatinkan adalah apa
yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan
as salafush shalih.

Lafazh Takbir
Ada tiga lafazh,
– Pertama :

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر كبيراً.

– Kedua :

الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

– Ketiga :

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

4. Puasa hari Arafah
Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:

أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده.

“Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim).
Beliau juga bersabda ketika ditanya tentang puasa ‘Arafah :

يكفر السنة الماضية والباقية

“(Puasa Arafah tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

Akan tetapi barangsiapa yang berada di Arafah -yakni sedang beribadah
haji-, maka tidak disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam
melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak
berpuasa).

KEUTAMAAN HARI NAHR [1]

Kebanyakan kaum muslimin melalaikan hari ini, kebanyakan kaum
mukminin pun lalai dari kemuliaan dan keutamaannya yang sangat besar,
banyak, dan melimpah pada hari tersebut. Demikianlah, padahal sebagian
‘ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling afdhal (utama)
dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih afdhal daripada) hari
Arafah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.”
Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
إن أعظم الأيام عند الله يوم النحر، ثم يوم القرِّ.

“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Al Qarr.”
Hari Al Qarr adalah hari ketika berada di Mina, yaitu hari ke-11 (bulan Dzulhijjah).

Pendapat lain mengatakan bahwa hari Arafah afdhal (lebih utama)
daripada hari Nahr, karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan
menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya
dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba
dari Neraka lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena
Allah subhanahu wata’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari
itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan
para malaikat.
Yang benar adalah pendapat pertama, karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada satu dalil pun yang menyelisihinya.
Sama saja apakah yang afdhal (lebih utama) itu hari Nahr atau hari
Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang
berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya
dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan
kebajikan).

Bagaimana Menyambut Musim (masa-masa) yang Penuh Kebaikan?

  1.       Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambut setiap
musim (masa-masa) yang penuh kebaikan dengan taubat yang jujur dan
sebenar-benarnya, dengan meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan
maksiat karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan menyebabkan seseorang
diharamkan dari keutamaan Rabbnya dan akan menghalangi hati dari
Penolongnya (Allah ta’ala).
  2.       Demikian pula hendaknya musim (masa-masa) yang penuh
kebaikan itu disambut dengan tekad yang jujur dan kesungguhan untuk
memanfaatkan masa tersebut dengan menjalankan amalan yang bisa
mendatangkan ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang jujur kepada
Allah, maka Allah akan membenarkannya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُواْ فِينَا لَنَهدِيَنَّهُمّ سُبُلَنَا.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
(Al-’Ankabut: 69)

Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memanfaatkan kesempatan
ini sebelum lewat darimu, yang akan menyebabkan kamu menyesal, tidak ada
waktu untuk menyesal. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepadaku
dan kepada kamu untuk bisa memanfaatkan musim (masa-masa) yang penuh
kebaikan ini, dan kami memohon kepada-Nya pertolongan agar bisa
menjalankan ketaatan dan bagusnya ibadah kepada-Nya pada masa tersebut.

AL-UDH-HIYAH
Sekelumit Hukum-Hukum terkait dengan Al-Udh-hiyah (Qurban) dan Pensyari’atannya

Al-Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari
Adh-ha disebabkan adanya ‘Id (Hari Raya), dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah ‘azza wajalla.
Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan
dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ.
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya;
dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
(Al-An’am: 162-163)

Waktu Pelaksanaan Al-Udh-hiyah

Al-Udh-hiyah adalah ibadah yang tertentu waktunya, bagaimanapun
kondisinya tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya, dan tidak boleh
pula dilaksanakan setelah keluar dari waktunya, kecuali jika
mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan ‘udzur tertentu.
Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘Id bagi yang
mengerjakan shalat ‘Id, seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya
(tidak dalam keadaan safar). Atau juga dilaksanakan setelah ada
kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, seperti
musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).
Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Id) maka hewan yang
disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah
dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah
shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله ، وليس من النسك في شيء.
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu
hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja,
dan bukan termasuk nusuk (sembelihan qurban) sedikitpun.”
(Ahmad dan
Ibnu Majah)
Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه ، وأصاب سنة المسلمين.

“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka sempurnalah nusuk (ibadah qurban)nya 
dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”

Jenis (Keadaan) Hewan Yang Layak dan Memenuhi Kriteria Untuk Dijadikan Hewan Qurban
Hewan yang dijadikan qurban adalah dari jenis hewan ternak saja, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan
(qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak
yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.”
(Al-Hajj: 34).
Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik
dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang
dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Ini adalah pendapat
Al-Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga
jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -selesai
penukilan-.
Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن.
“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah.
Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi
kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.”

(HR. Muslim)
Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap
berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur
dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z)
adalah yang genap berumur satu tahun.
Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.
Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu
(sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak
disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih
untuk hadyu maupun qurban dari selain unta, sapi, dan kambing.
Yang paling afdhal (utama) adalah unta, kemudian sapi, kemudian dha’n
(domba), kemudian ma’z (Kambing Jawa), kemudian sepertujuh dari unta,
dan kemudian sepertujuh dari sapi.
Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk,
banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang. Dalam Shahih
Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أقرنين أملحين.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berqurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”
Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.

Keadaan Hewan Qurban yang Harus Dihindari

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan qurban yang
bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat
dengan tangannya dan bersabda:
أربعا : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقي.
“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang
rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya,
dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.”
(HR. Abu Dawud no. 2802,
At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan
oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227. )
Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-’Ajfa’ (yang kurus), dan dalam
riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang
lemah).
Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya
dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan qurban, yaitu:
1.       Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang
matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat
dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu
masih memenuhi kriteria. Akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan
tersebut, maka itu lebih baik.
2.       Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh
sakitnya pada hewan tersebut, seperti demam yang menghalanginya dari
gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah
dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau
yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai
penyakit yang nyata. Jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah
yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan,
maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang
kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.
3.       Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu
berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu
tertinggal). Jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan
tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa
berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi
kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada
kepincangan padanya) itu lebih baik.
4.       Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut
kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi.
Kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas.
Akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.
Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits
tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan qurban. Para ulama
juga berpendapat demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab
Al-Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat
tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya
sebagai hewan qurban.” -Selesai penukilan-.

Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan qurban adalah jika
kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan
yang lebih parah dari itu. Masuk dalam kategori ini adalah:
1.       Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat
dengan matanya. Hewan ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria
hewan qurban, karena kondisinya lebih parah daripada hewan “yang rusak
matanya dan jelas kerusakannya.”
Adapun hewan yang menderita rabun senja, yakni bisa melihat hanya
pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab
Asy-Syafi’i menyatakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria, karena yang
demikian tidak tergolong hewan “yang rusak matanya dan jelas
kerusakannya”, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga
mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan
yang tidak menderita seperti itu lebih baik.
2.       Yang mengalami sakit pencernaan, sampai dia bisa membuang
kotorannya (berak). Karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan
bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang
kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut
dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan qurban jika
tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.
3.       Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat (ketika
melahirkan), karena kondisi seperti ini sangat berbahaya, terkadang bisa
memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang
nyata. Bisa saja hewan tersebut memenuhi kriteri untuk dijadikan hewan
qurban jika melahirkan itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak
mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.
4.       Hewan yang mengalami sesuatu yang menyebabkan kematian
seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas.
Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi
kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang menderita sakit yang
jelas sakitnya” dan hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.”
5.       Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena
penyakit tertentu, ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria
sebagai hewan qurban daripada hewan “yang pincang dan jelas
kepincangannya.” Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena
kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi
karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat
pada tubuhnya.
6.       Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya, karena
ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan
qurban daripada “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Dan juga karena
telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan
dengan hewan yang terpotong ekornya.
Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal
hewan qurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan
secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu
dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak
boleh berqurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat
yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya
kriteria ideal hewan qurban.

Apakah Boleh Berqurban Atas Nama Mayit (Orang yang Sudah Meninggal Dunia)?


Pada asalnya berqurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang
masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya dahulu berqurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya.
Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu
pengkhususan qurban untuk orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada
dasarnya dalam syari’at ini.
Berqurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:
1.       Berqurban atas nama orang yang sudah mati tetapi sifatnya
hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berqurban atas nama
dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang
dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Dasar dari amalan ini adalah qurban yang dilakukan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
ketika beliau berqurban atas nama diri beliau sendiri
dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah
meninggal sebelumnya.
2.       Berqurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:
فَمَن بَدَّلَهُ بَعدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيع عَلِيمٌ.
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Al Baqarah:
181)
3.       Berqurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang
terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini
diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa
pahalanya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat
baginya, atas dasar qiyas dengan amalan shadaqah atas nama dia.
Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan qurban atas nama
orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah (tuntutan Nabi), karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berqurban
atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak
pernah beliau berqurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia
adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak
pula beliau berqurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal
ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan
tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berqurban
atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang
istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari
para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berqurban
atas nama seseorang yang sudah meninggal.
Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian
orang adalah mereka berqurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang
telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan
Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang
pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut.
Atau mereka berqurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka
shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berqurban atas nama
diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa
seseorang jika berqurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan
keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka
mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada
amalan mereka (sebelumnya) tersebut.

Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Oleh Seseorang Yang Hendak Berqurban

Jika seseorang hendak berqurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah –
baik dengan cara ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah
menjadi 30 hari – maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong)
sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah
menyembelih hewan qurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره.
Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah
seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah
(tidak memotong) dari rambut dan kukunya.”
(HR. Ahmad dan Muslim)

Dan dalam lafazh yang lain:

فلا يمسَّ من شعره ولا بشره شيئاً حتى يضحي.
Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia melaksanakan qurbannya.”
Dan jika niat untuk berqurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari
tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak
mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan
dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum
berniat.
Hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berqurban, yang
berarti dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian
amaliah manasik – yaitu dalam bentuk menyembelih hewan qurban – maka dia
pun juga harus turut serta (dengan para jama’ah haji) dalam  hal
sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram, berupa menahan diri (tidak
mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya. Atas dasar ini, maka
dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berqurban untuk
mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah tersebut.
Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berqurban. Adapun
bagi Al-Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya qurban), maka
tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وأراد أحدكم أن يضحي…

“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban …”
Dan tidak mengatakan:

“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya qurban.”

Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu
pernah berqurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah
dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya)
untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.
Dan jika orang yang hendak berqurban mengambil/memotong sedikit saja
dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat
kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak
diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi
dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh
sebagian orang awam [2].
Dan jika mengambil/memotongnya itu disebabkan lupa atau tidak
mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja,
maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat
diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang
demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa)
sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan
padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke
bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya,
dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang
semisalnya.

BEBERAPA HUKUM DAN ADAB TERKAIT DENGAN HARI RAYA ‘IDUL ADH-HA YANG PENUH BARAKAH INI

Saudaraku muslim, segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua aspek
kehidupan kita. Dan segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi
petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud untuk menyebutkan
kepada anda sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun
diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh barakah, hari Nahr (tanggal
10), dan tiga hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13). Dan
perkara-perkara tersebut telah kami ringkas dalam beberapa poin berikut :
 Takbir
Disyari’atkan untuk mengumandangkan takbir sejak waktu fajar pada
hari ‘Arafah (tanggal 9) sampai waktu ‘Ashr pada hari Tasyriq yang
terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاذكُرُواْ اللهَ فِي أَيَامٍ مَعدُودَاتٍ.

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)

Dan lafazh Takbir adalah:

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Dan disunnahkan untuk mengeraskannya bagi laki-laki, baik di
masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam
rangka memperlihatkan keagungan Allah dan menampakkan ibadah dan rasa
syukur kepada-Nya.
Menyembelih Hewan Qurban.
Dilakukan setelah pelaksanaan Shalat ‘Id, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى، ومن لم يذبح فليذبح.
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘Id, maka hendaklah dia
menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih
(setelah shalat ‘Id), maka lakukanlah penyebelihan.”
(HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Dan waktu penyembelihan itu ada empat hari : hari Nahr (tanggal 10)
dan tiga hari-hari Tasyriq (11, 12, 13), berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
كل أيام التشريق ذبح.
“Semua hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (HR. Ahmad. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 2476)
Mandi, Memakai Wewangian dan Memakai Baju Paling Bagus Bagi Laki-Laki
tanpa berlebihan dan tidak isbal (Memanjangkan kain celana/sarung
sampai melebihi mata kaki)

Dan tidak pula memotong jenggot karena ini semua adalah sesuatu yang diharamkan.
Adapun kaum wanita, maka disyari’atkan baginya untuk keluar ke
mushalla ‘id tanpa tabarruj (berhias) dan memakai wewangian. Tidak sah
jika melakukan ketaatan kepada Allah dan melakukan shalat, tetapi pada
yang saat bersamaan bermaksiat kepada-Nya dengan melakukan tabarruj, 
tidak memakai hijab (cadar), dan memakai wewangian di hadapan laki-laki.

Makan Dari Hewan Sembelihan

Dahulu Rasulullah tidak makan sampai beliau pulang dari mushalla
(tempat shalat ‘Id) dan kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul
Ma’ad I/441)
Pergi ke Mushalla (Tempat Shalat) ‘Id dengan Berjalan Kaki, jika mudah baginya.

Dan menurut sunnah adalah shalat ‘id itu dilakukan di mushalla [3]
kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat di masjid
berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat ‘Id Hukumnya Wajib, Adapun Menghadiri Khuthbah ‘Id Hukumnya Sunnah.
Masalah yang ditarjihkan oleh para muhaqqiqun (peneliti) dari
kalangan para ‘ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adalah
bahwa shalat ‘id itu hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِكَ وَانحَر.

“Maka Dirikanlah shalat tarena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (Al Kautsar: 2)

Dan kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali jika ada udzur. Para
wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘id bersama dengan kaum
muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid maupun yang sedang
berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita haid diharuskan berada
pada posisi yang terpisah dengan mushalla.
Melewati Jalan yang Berbeda (Jalan Berangkat Berbeda dengan Jalan Pulang)
Disunnahkan bagi anda untuk pergi ke mushalla ‘id dengan melewati
jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat yang demikian.

Mengucapkan Selamat Hari Raya, karena hal ini pernah dilakukan para shahabat Rasulullah.




HATI-HATI DARI KESALAHAN YANG SERING TERJADI PADA HARI RAYA

     Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran kepada
kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia, di antara
kesalahan tersebut adalah:
     1.  Mengumandangkan takbir secara bersama-sama dengan satu suara
(serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang
mengumandangkannya.
     2.  Melakukan permainan pada hari ‘id dengan sesuatu yang haram,
seperti mendengarkan musik, menonton film, ikhthilat (bercampur baurnya
laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan yang lainnya dari
bentuk-bentuk kemungkaran.
     3.  Mengambil (menggunting) rambut dan memotong kuku walaupun
sedikit sebelum menyembelih hewan qurbannya bagi yang akan berqurban
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang yang demikian.
     4.  Berlebihan dan boros (dalam menghamburkan harta) untuk
sesuatu yang tidak ada manfaat dan mashlahatnya berdasarkan firman Allah
ta’ala:

وَلا تُسرِفُوا إِنّهُ لا يُحِبُّ المُسرِفِينَ.

“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am: 141)

     Dan sebagai penutup, jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk
bersemangat dalam beramal kebajikan seperti silaturrahim, mengunjungi
kerabat, meninggalkan sikap saling membenci, hasad, dan tidak suka
kepada saudaranya, serta berupaya untuk membersihkan hati dari itu
semua, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu mereka, dan
berusaha menggembirakan mereka.
     Kami memohon kepada Allah untuk memberikan taufiq-Nya kepada kita
untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar
Allah memberikan kepahaman terhadap agama kita, dan agar Allah
menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang bisa beramal
pada hari-hari ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan
yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail
Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.
diterjemahkan oleh : Ust. Abu ‘Abdillah Kediri dan Abu ‘Amr Ahmad

*
[1] Tanggal 10 Dzulhijjah.
[2] Sebagian orang awam berkeyakinan kalau orang yang hendak
berqurban memotong rambut, kuku, maupun kulitnya pada sepuluh hari
pertama Dzulhijjah, maka dia harus membatalkan niatnya untuk berqurban
tersebut. Ini adalah keyakinan yang keliru.
[3] Yakni selain masjid. Namun di luar masjid, berupa tanah yang
lapang, kosong, dan luas yang diistilahkan mushalla. Biasanya terletak
di pinggir desa/kampung.

Sumber: Darussalaf

Related posts

Leave a Comment